Sabtu, 29 Januari 2011

Jejak Sasa


          Burung gereja jauh lebih dulu sigap dijendela kamar ku dibandingkan aku yang masih bermalas-malasan di kamarku yang padahal jam dinding ku telah menunjukan angka 6. Aku menguap lebar, sambil mengkedip-kedipan mataku.
          “heh bangun!” pinta salah satu pembantuku.
          “ia..iaa” jawab ku dengan nada terpaksa.
          Aku berangkat pukul 06.45 pagi, karna kebetulan jarak dari rumahku ke sekolah hanya 100 km. 5 menit lagi bel masuk akan berbunyi, sebelum pintu gerbang sekolah kku di tutup aku sudah sampai.
          “telat lagi? Bangun jam berapa si non?” ejek manda sahabat ku.
          “ia begitulah..” .
          Jam masuk berbunyi kencang, memantul dari tembok ke tembok hingga terdengar nyaring ke kelas ku.
          “sasa!!!!” teriak salah satu sahabatku.
          Aku pun langsung menoleh ke arahnya.
          “ia??” lelaki itu pun menghampiriku.
          “gue ada perlu sama kamu Sa!” ujar lelaki itu yang merupakan pacar dari sahabatku juga, Imka.
          “apa??”. Lelaki itu pun menarik tanganku untuk duduk.
          Kamu duduk berdua, duduk di depan kelas ku. Dia berbincang banyak dengan ku, khusus nya masalah pacarku Reza. Yahh, memang akhir-akhir ini hubunganku dengannya agak renggang, berhubung kini Reza duduk di bangku SMA sedangkan aku, masih duduk di bangku SMP kelas 8. Reza masuk ke salah satu sekolah yang menampung ratusan anak berprestasi, jelaslah banyak waktu yang ia miliki hanya untuk belajar. Sedangakn waktu nya untukku? Mungkin dalam seminggu, ia hanya menyisakan waktunya 24 jam. Itupun hanya melalui sms, yang dimulai dari jam 9 malam.
          “apa yang kamu lakuin sekarang???? Bertahan sama Reza atauu……??” Tanya lelaki itu yang bernama ka Ari.
          “ehmm, udahlah ka. Biarin aku milih jalan aku sendiri, toh itu yang terbaik buat aku. Tapi, sasa makasih banget kalau kaka udah peduli sama Sasa” aku pun bergegas masuk ke kelas tanpa pamit dengannya.
          Sepanjang jam pelajaran, aku menatap papan tulis dengan pandangan kosong. Entah apa yang akan aku perbuat sekarang, bertahan menyimpan perih atau mencari yang jauh lebih baik?.
          “brukkkkkkkkkkkkkk” guru ku menjatuhkan tangannya ke atas mejaku hingga aku terkejut.
          “ayamm.. ayamm ayamm” latah ku hingga membuat semua tertawa melihat wajah kocakku.
          JJJ
         
          Bel pulang berbunyi, senang rasanya aku bisa melepaskan benak di pikiranku entah dengan nonton atau seharian penuh manatap layar computer dengan resiko tidak mendapatkan uang jajan setahun karna tagihan listrik yang meningkat ulahku.
          “mandaaaaaaaaa” teriakku ketika aku jauh lebih dulu berada di depan gerbang di banding Manda
          “apa saaa??” Tanya manda pada ku.
          “punya masalah? Pasti tentang Reza?” Tanya manda yang jauh lebih dulu menebak.
          “benerrr” jawabku tak bersemangat.
          “yaudah, kita jalan ? gimana??” ajak manda padaku
          “oh gitu ya, Imka enggak diajak nih?” kesal Imka yang tiba-tiba ada di belakangku. 
          “eh Imka, maaf bebh” sambil tertawa.
          Kami putuskan untuk pergi ke salah satu mall besar di kota ku. Kami tertawa bersama, makan, dan menghabiskan waktu kami untuk melepas beban di pikiranku.
          Lelah rasanya, setelah lama kami berada di sana, kami pun berniat pulang.
          “Ka, kamu ngerasa ada yang aneh enggak?” Tanya Manda pada Imka
          “enggak, kenapa?” Tanya Imka.
          “heh Ka, Sa. Liat ke atas!” pinta Manda.
          “hah!” mereka terkejut ketika ada segerombolan lelaki melihat kami dengan pandangan nakal.
          Kami mencoba membodohi mereka dengan berputar-putar aneh di mall itu. Sayangnya kami gagal. Semua lelaki itu terus membuntuti kami.
          Seorang lelaki berjalan ke arah kami, yang sepertinya sudah tidak asing bagi kami.
          “Haqi?” tebak kami bertiga yang ternyata benar.
          “kita minta tolong dia aja dehh..??” pinta ku pada Imka.
          “yaudah cepet”
          Manda, Imka dan aku berlari kearah Haqi. Sasa menjelaskan kronologis kejadian barusan. Bak pangeran, Haqi menolong kami hingga keluar dari mall.
          “ahhh akhirnya” ucap Imka dan Manda bersamaan.
          “oh ya Sa, kita kan pulang ke arah sana ?” sambil menunjuk ke kanan. “sedangkan kamu kan ke sana!” sambil menunjuk kea rah kiri.
          “kita mau balik yah?? Udah mendung nih!!” ujar Imka.
          “aku gimana??” Tanya ku pasrah.
          “pasrah banget sih ! heh Haqi, temenin Sasa dong, yahh setidaknya sampai dia dapet angkot. Mau enggak?” pinta Manda sambil mengangkat kedua alisnya.
          “eemmm…” pikir Haqi.
          “hei Nda, kamu fikir enggak sih? Gimana kalau ada temen-temennya Reza?” cemas Sasa
          “hahh , udahlah! Cepet sana ! enggak mungkin ada temen-temennya ka Reza disini!” celetuk Imka.
          Dengan sengaja kami meninggalkan Sasa dan Haqi. Manda dan Imka seolah senang melihat aku berdua dengan Haqi.
          Sempat Haqi menawari ku untuk pulang bersama dengannya. Haqi adalah anak yang tajir. Di mall tersebut, orang tuanya memiliki toko perhiasan. Ini adalah hari pertama dimana aku mengenalnya, cowok berkulit hitam berkacama mata, tinggi dan lebih gendut dari ku.
          “ehmm, sampai sini aja Qi nganterinnya, makasih ya” ujar ku lalu meninggalkan ia. Aku melihat senyum Haqi yang begitu manis buatku.
          Aku sampai di rumah.
          Aku membanting tas ku ke ranjang, tersenyum aneh bagai orang yang baru pertama jatuh cinta. Tiba-tiba ponsel ku berbunyi.
         
          Sayanggg, selaamat sore J
           
          Hah, pesan itu datang dari Reza. Semalam penuh yang ada di benakku hanya Haqi. Bahkan ketika aku mulai menghafal suatu pelajaran yang ada di otakku hanya dia.
          Dengan sengaja malam itu aku tak membalas pesan dari Reza. Aku  malah berpikir tentang hari ku bersama Haqi. Kesan pertama yang aku dapat darinya , “begitu mengerti aku dalam keadaan ku”.
          Mimpi indah pastinya ku lalui malam ini. Yang hingga jam 22.00 aku masih membuka mataku dan tetap stay dengan ponsel besar ku yang merupakan keluaran 2001.
          “kakak??” Tanya ibu ku dari luar kamar ku.”tidur sayang, udah malam. Besok kan harus sekolah”.
          “ia bu..” teriakku dari dalam kamar.
          Malam yang indah, ku berikan senyum hangat ku pada bintang sebelum aku terlelap tidur hingga aku terbangun nanti, yang ada hanya matahari.
          Embun mulai menetes, keluar dari sela-sela daun rindang yang membentuk banyangan dedaunan di tembok kamarku. Burung mulai berkicau, matahari belum sepenuhnya muncul ke kehidupanku sebagai lampu di siang
          Tepat pukul 05.00 pagi ponsel ku telah berbunyi, ternyata satu pesan baru mengunjungi ponsel ku, dari Haqi.

          Bangun,,, udah pagiii
          Solat shubuhhhhh heiii J

        Hari itu pun aku bangun lebih pagi dari biasanya. Mengambil air untuk membasuh sebagian tubuhku untuk wudhu.
          “tumben udah bangun?” heran pembantuku.
          “bukannya bagus yahh? Biar bisa solat shubuh gitu..” alasan ku seolah aku yang merencanakan semuanya.
          JJJ

          Aku sampai si sekolah jauh lebih pagi dari Manda, si pemecah rekor murid yang selalu datang pagi.
          “woii. Boleh juga kamu Sa, hari gini udah dateng!!!” aneh Manda sambil melihat ku dari atas ke bawah.
          “biasa dong liatnya” ucap ku sambil cemberut.
          “oh ya, tumben dateng pagi? Ada angin apa nih ???? tumben bisa ngalahin jam beker di kamar kmu? Kan biasnya kamu yang di kalahin sama jam beker” Tanya ku beruntun
          “huhhh! Banyak banget pertnyaanya!” keluh Sasa. “eh Nda!”
          “apa?” Tanya ku datar.
          “aku ngerasain sesuatu deh sama Haqi?” kataku sambil trsenyum dan membayangkan wajah Haqi.
          “WAWW!” kaget ku hingga susu kalengku terjatuh ke lantai. “wahh wahh, jatuh cinta nihhh” kocak Manda.
          “ah kamuu!!!! “ sambil tersenyum.
          “tapi enggak salah kok, Haqi anknya baik, tajir pulaaa, lumayan lah buat seorang Sasa Rama Florka” pendapat Manda.
          “tapi Reza?”
          “ah ngapain kamu pikiri dia, cowo yang enggak tau diri! Dia enggak bisa jadi apa yang kmu minta, Sa!”
          “so????” lanjutku
          Sedangkan Manda hanya senyum-senyum melihatku.
          Aku pun melangkahkan kaki ku menuju kelas sambil tersenyum sendiri.
          “are you ok? Hah?” Tanya Taska teman tempat duduk ku
          “maybe..”
          “huhhh tersraa!”
          JJJ

          Bel istirahat berbunyi nyaring, aku pun keluar ke kelas dan ku lihat Haqi yang tersenyum padaku. istirahat yang tak begitu indah, ujarku. Mengingat kepalaku yang mulai menjerit sakit. Susah memang mengingat kenangan manis aku dan Reza untuk belakangan hari ini, apa yang aku tidak inginkan selalu di lakukan oleh Reza, yang paling parah hingga tengah malam Reza masih berada di salah satu tempat bermain billyar. Entah apa maksudnya. Aku mewajari, jika aku merasa tak lega jega ada seorang wanita yang mendekati Reza. Aku punya hak, aku pemilik hati Reza tapi mulutku dengan hati ku tak pernah mengatakan kata ‘sepekat’ di kala aku ingin meluapkan kekecewaan ku, aku malah melakukan hal yang sebaliknya. Derai air mata merupakn hal yang berbeda saat aku bersama dengan Reza.
          Ku tatap biscuit coklat dihadapan ku dengan pandangan kosong.
          “Sasaaaaa..” panggil Imka.
          Aku hanya menoleh ke arahnya tanpa berkata ‘ia’.
          Imka berlari kencang kearahku sambil menyerukan namaku.
          “kamu baik kan Sa???” Tanya Imka cemas. Aku pun langsung memeluk Imka dan tanpa basa-basi menjatuhkan air mata.
          “kamu kenapa Sa? Ada apa? Cerita?” pinta Imka sambil mengguncang-guncangkan tubuh mungilku.
          “Reza, Ka!! Aku bingung harus gimana???” ujarku dengan mata yang mulai meneteskan butiran air mata.
          “ahh ngapain si kamu pikirin dia? Buang-buang waktu kamu!!. Apa sih susahnya putusin dia??” keras Imka.
          Aku kembali menjatuhkan tubuhku ke pundak Imka. Manda tiba-tiba datang dan menatap kami aneh.
          “kenapa??’ santai Manda padaku.
          “reza Nda, dia masih pikirin Reza” celetuk Imka.
          “ahhh shitt! Ngapain si mikirin itu lelaki! Mendingan sama Haqi, udah tajirrr dompetnya pasti tebel tuhh hahaha lumayan buat dipalakin pulsa sama makan siang” heboh Manda sambil mengkhayal aneh.
          “ah kamuu Nda” kata Sasa sambil mendorong kepala Manda ke samping. Sedangkan Imka malah ketawa melihat khayalan tingkat tinggi aku. Yahh, itulah Manda, pemanis keadaan walaupun dia matrealistis tapi dia paling bisa membuat kami tersenyum dengan candaan khasnya.
          “udah bel, aku masuk yahhh…” ucap Manda melambaikan tangannya pada Sasa,, dannn..
          “BBRRUKKKKK” teriak Manda
          “sakitt tauuuu!!!!” kesal Manda pada lelaki yang menabraknya barusan.
          Tanpa dosa, lelaki itu pun malah meninggalkan Manda yang masih tersungkir ke lantai tanpa mengucap kata maaf lalu memberikan wajah jutek.
          “rrrggggghhhhhh” sambil memanyunkan mulut Manda, Imka dan Sasa tersenyum seakan bahagia.
          Aku pun masuk ke kelas dengan keadannn 50% jauh lebih tenang dari sebelumnya. Pelajaran pun di mulai. Jam demi jam aku lalui, memenuhkan otakku dengan ilmu yang berguna di masa depanku nanti. Bel kemengan pun berbunyi (bel pulang). Aku bergegas pergi ke kelas Manda dan menunggu Imka di depan kelas Manda.
          “hei Sa!” sapa Manda lalu duduk di sampingku. “ayoo pulangg??” ajakku.
          “Imka??” Tanya ku
          “dia udah nunggu di luar dari tadii hahahahhahaahah” Sasa menatap Manda dengan cemberut.
          “ahh cemberutku itu bikin rinduu… wahahah” Manda tertawa , langsung merangkul ku untuk keluar dari sekolah.
          Kami menemukan Imka dan ka ARI tepat di depan gerbang sekolah, dan sepertinya sedang terjadi peperangan hebat di antara mereka. Hingga tepat 5 langkah lagi aku dan Manda sampai di hadapan mereka, Imka jauh lebih dulu melayangkan tangannya ke pipi kiri Ari hingga membekas merah. Niatan mencegah pun pupus sudah, 2 november 2009, Imka mengakhiri hubungannya dengan Ari.
          “Ka.. kenapa??” Tanya Sasa khawatir lalu memeluk Imka.
          “aku enggak pa-pa” ucap Imka sambil menghapus air matanya, seolah tak ada yang terjadi. Manda mengelus kepala Imka.
          Hari yang melelahkan. Kejadian tragis terjadi di hadapku dan aku tak bisa berkutik. Ku tutup telinga ku, membiarkan lagu Bertahan ‘Rama’ terdengar jelas hanya di telingaku.
          Kurasa air mata tak berarti, ku teguhkan hati untuk mengahadapi hari yang mungkin jauh lebuh sulit dari pada ini.
          JJJ

          Pagi yang indahh..
          Ucapkan selamat pagi untuk hari iniii J
         
        Seperti biasa, kini Haqi menjadi orang pertama yang mengunjungi ponselku. Aku pun kembali bangun pagi, dan tak terlewatkan sholat shubuh.
          “pagi sayangg” kata Ibu lalu mencium pipiku.
          “pagi bu” jawabku lalu duduk di meja makan dan mengambil sepotong roti.
          “ayah mana???” Tanya ku sambil membalur rotiku dengan selai stroberi.
          “masih di kamarr, kenapa kangen??” Tanya Ibu
          “ia sih bu ,, kemarin ayah kan pulang nya larut malam banget”
          “apa sih? Anak ayah yang satu ini ngomongin ayah aja??” canda ayah lalu menciumku.
          “eh ayahhh” tebakku.
          “melodi mana?” tanya ayah mencari adik perempuan ku, Melodi.
          “auuuu” singkatku sambil mengangkat pundak.
          “berangkat bareng ayah??” tanya ayah
          “bolehhh” jawabku sambil tersenyum.
          Ku gendong ransel ku yang serupa merek dengan tas kedua sahabatku Imka dan Manda. Hanya saja, warnanya berbeda. Aku sampai di sekolah yang tampaknya sudah ramai.
          Seperti biasa, untuk sampai di kelas ku , aku harus melewati ruang guru, kelas 8A, 8B, UKS yang amat amat sempit juga kelas 9E. Kelas dimana seorang kakak kelas menyimpan rasa dengan aku dan juga Manda.
          Duduk kedua dari depan, itulah lokasi tempat dudukku. Tasta menyambut ku dengan hangat.
          “akhir-akhir ini muka kamu kusut??” tanya Tasta teman satu bangku ku.
          “ya gitu lah”
          “Reza?” tebak Tasta.
          Aku hanya menganggukan kepalaku ringan.
         
          Istirahat datang…
          Manda berjalan cepat ke arah ku seakan membawa sebuah pesan.
          “putusin REZA!” pinta Manda tiba-tiba yang membuat ku kaget.
          “maksud kamu??” penjelasku bingung.
          “putusin!, udahin cerita cinta kamu itu sama Reza! Sampe kapan kamu mau di bikin naangis sama dia? Hah ?” pinta Manda dengan nada yang keras.
          “tapi…” jawabku seakan ada sesuatu yang mengganjal.
          “tapi apa ? enggak tega???. Sini aku yang nulis kata-katanya!” pinta Manda sambil merampas ponsel yang aku pegang dan mulai merangkai huruf demi huruf.
          “bener kata Manda” celetuk Imka yang seperti biasa hadir tiba-tiba. “sampai kapan kamu mau gini terus sama Reza, apa kamu enggak sadar? Kalau selama ini ada cowok lain yang mungkin cintanya lebih tulus dari yang Reza punya! Apa kamu enggak sadar??. Dan apa kamu inget? Sadar enggak sih kalau kamu sekarang lagi HTS sama Haqi? Dan apa kamu sadar, itu sama aja kamu selingkuh Sa!!! Dari pada 2 hati di sakitin sekaligus, mendingan kamu pilih salah satu!” dewasa Imka yag membuat Manda melongo.
          “ya tuhann, teman ku dewasa sekali huhuh apakah dia baru saja ketiban ATM? waw amazingggg ??” canda Manda.
          “huuuuuuuuuu” sekejap suasana menjadi penuh tawa.
          “oke deh Nda, Ka. Aku pilih Haqi” ucap ku sambil tersenyum.
          “akhirnyaaa” jawab Manda dan Imka bersamaan.
          Kata-kata telah terangakai yang intinya mengucap kata ‘putus’. Karna tak tega, setelah Manda merangkai kata yang di bantu juga oleh ku, aku pun meminta Manda yang menekan tombol kirim. Aku tertunduk pasrah, aku hanya berharap, keajaiban suatu hari nanti akn datang.
          Hingga hubunganku pun berakhir di bulan September, dan pada tanggal 2 Oktober, Haqi pun mengungkapkan perasaan nya. Jelas aku menjawab ‘ya’. Apakah ini keajaiban yang aku minta dari tuhan? Dan apakah Haqi datang dapat membawa aku tersenyum kembali?.

          Hubungan ku pun berlanjut seiring waktu. Kini kami sudah 2 bulan berpacaran. Memang banyak cobaan tapi kami selalu menghadapinya dengan kepala dingin. Begitu juga dengan Manda, kini ia sedang menjalani hubungan tnpa status dengan Dika, orang yang menabraknya dulu. Dan Dika adalah cowok pintar, tapi sayang mukanya tolol. Tapi, kalau sahabatku senang, aku pasti dukung kok, apapun yang terjadi kami semua sahabat yang selalu memberi dukungan kala kami jatuh nanti. Begitu juga dengan Imka, kini ia berpacaran dengan cowok yang 2 tahun jauh lebih tua darinya, tepatnya kelas 2 SMA. Yang  tadinya sahabat dari pacar Imka itu, yang kerap kami sapa Agga, mendekatkan Manda dengan sahabat Agga, namanya Haris. Tapi sayangnya Manda tolak, dia tetap bertahan dengan Dika. Kasihan Imka, sepanjang perjalan cinta nya, tak sekalipun ia berjumpa dengan Agga. Tappi aku berharap lebih di suatu hari nanti jika Agga dapat hadir dihadapan Imka.
          Inilah pertengahan hubungan aku dan Haqi, di mana hubungan aku hampir menuju 3 bulan. Sifat Haqi mulai nampak di permukaan hidupku. Terutama Tasta, dia merasakan benar perubahan Haqi untukku. Aku bingung harus seperti apa aku untuknya.
          Aku melangkahkan kaki menuju gerbang sekolah ku. Aku melihat Haqi juga datang dengan waktu yang sama. Aku tersenyum dan mencoba menyapanya, tapii… aku terlambat. Teman ku, Dara menyapanya lebih dulu hingga aku berada di belakang Haqi, dan tanpa Haqi sadar, aku ada persis di belakang nya.
          Kini Haqi sedang di sibukkan oleh band nya yang boleh di bilang naik daun. Hak ku, hampir di rampas oleh Dara untuk dapat berbincang dan menghabiskan waktu lama dengan Haqi. Bodohnya, aku tak dapat berkutik. Entah apa yang terjadi, aku begitu membenci Dara. Aku menyesal memperkenalkan Haqi pada band itu, yang nyatanya malah membuat Haqi berada jauh dari ku.
          Dengan wajah kusut, ku banting tas ku ke kursi. Aku letakkan dagu ku di atas meja. Berharap Tasta segera datang. Tapi sayangnya, surat sakit Tasta datang kehadapan ku.
          “tasta sakit nih, ni suratnya” ujar temanku sambil memberikan suratnya padaku. Tanpa bergerak aku hanya berkata.
          “oh”.
          Manda datang ke kelas ku, duduk di sampingku. Dan memelukku , hingga aku pun menangis di pundak Manda.
          “apa sih kurangnya aku Nda???, aku Cuma mau Haqi balik jadi dia yang dulu..!” isak ku.
          “ia, ia, aku tau Sa” sambil menepuk pundak Sasa,
          Manda menarikku ke kamar mandi, mecoba menghapus air mata ku. Aku pun tersenyum dengan candaan-candaan kecil Manda.
          Haqi lewat persis di hadap ku dan Manda, tapi aku hanya berjalan ke depan dengan membuang muka tanpa sadar ku , aku pun meninggalkan Manda.
          “hehh Sa!!” teriak Manda ketika aku sudah lebih dulu menyusuri tangga. Jalan Manda terhenti ketika melihat Haqi.
          “makasih!” ucap Manda dengan ketus.
          Manda berlari menyusulku dannn,,
          “brukkkk” unttuk kesekian kalinya Manda menabrak lelaki jutek itu. Siapa lagi kalau bukan Dika Putra. Lantas Manda memanyunkan bibirnya garing, sedangakan Dika? Dia hanya berjalan polos sambil melihat ku dari atas ke bawah.
          “kapan si kamu sadar, aku suka sama kamu!” dalam hati Manda berbicara. “dikaaaaaaaaaaaaaaaaa” teriak Manda kesal. Hingga membuat Dika berhenti dari langkahnya dan langsung memalingkan wajahnya ke arah Manda.
          “apaaaa??” datar Dika. Manda  pun menghampirinya.
          “kenapa pesan aku yang aku kirim ke facebook kamu enggak kamu bales?” tanya Manda yang nampaknya kecewa.
          “oh ituu, maaf ya. Udah lama belum online lagi” jawab Dika sambil tersenyum.
          “eeehmmm… yaudah dehh” sambung Manda
          “maaf yah yange Manda” singkat Dika ketika Manda pergi. Manda pun berhenti dari langkahnya, lalu tersenyum girang.
          “ia enggak pa-pa yanggg” jawab Manda. Dan akhirnya Manda dan Dika pun saling senyum. (Perlu di ingat, belum ada ikatan lohh)

          Sambil berdendang, aku berjalan melalui kolidor kelas untuk menuju kelas ku. Aku melihat Manda yang tersenyum riang, duduk di balkon kelasnya.
Aku sapa dia, lalu duduk di sampingnya. Entah setan apa yang hinggap ditubuh Manda, ia terdiam sembari tersipu malu dengan pandangan seakan berkhayal. Bahkan kedatangan aku pun tak di hiraukan olehnya.
          “hehhh!” ucap ku sambil menyenggol pundak Manda, tapi Manda tak berkutik.
          “hehhhhhhh!” ucap ku sekali lagi.
          “MANDAA PUTRI CLOSET !!!!!!! WOOOOOOOOOOOOOOOYY” teriakku seakan menghentikan becak.
          “apa Sa?, nama aku MANDA PUTRI PRINSET! Bukan closet! huhhhh” santai Manda lalu melihat ku.
          “huh kamu kenapa si Nda? Senyum-senyum enggak jelas!” celetuk Sasa.
          “enggakkkk hehehe” jawab Manda santai lalu mencium pipiku.
          “weiitssss.. main nyosor-nyosor aja dikau!” cegah ku
          ‘biarinn ahhhhhhhhh hehehe” manda dan aku pun tertawa aneh saat itu.
          Hingga Haqi pun datang, dengan santai ia duduk di samping kami.
          Haqi pun membukan pembicaraannya.
          “eh Nda, maksud kamu ngomong kaya gitu sama saya kenapa?” tanya Haqi.
          “oh yang tadi di WC?” perjelas Manda.
          “iaaa”
          “tanya aja sama diri kamu sendiri!!” keras Manda takk peduli.
          “gimana sih kamu tuhh” kesal Haqi menatap Manda.
          “kamu tuh yang GIMANA!!! Sadar enggak sih kamu salah? HAH??”  kasar Manda lalu pergi masuk ke kelas.
          Belum mendapatkan jawaban yang memuaskan, ia pun beralih pada Sasa, pacarnya.
          “kenapa sih yang?” tanya Haqi padaku.
          Aku hanya mengangkat bahu ku tanpa melihat wajahnya.
          “kenapa?” penasaran Haqi lalu mengguncang tubuh ku.
          “kamu berubah yang!” jawabku.
          “haa? Berubah?” ucap Haqi mengulang.
          “udah lahhh!!!!! Apa kamu enggak sadar kamu berubah?? Pertama waktu kamu berubah buat aku, gara-gara band kamu itu, kedua kamu jadi kaya anak kecil tau enggak! Selalu aku yang ngalah, dan yang ketiga kamu jadi lupa sama perasaan dan jaga perasaan aku ke kamu !!!” kesal ku pada Haqi yang merasa bahwa apa yang aku katakan barusan itu benar.
          “ia yang maaf” ujar Haqi tertunduk.
          “yauda aku maafin, tapi lain kali jangan harap!” ancam ku. “oh ya, kenapa yah yang? Aku ngerasa pandangan kamu ke Tasta bedaa?” heran ku. Padahal sebenarnya, Haqi mengajak Tasta untuk mempunyai hubungan kusus. Dan itu pun terjadi tanpa sepengetahuan Sasa. Tasta belum sempat mengatakan itu mungkin karena dia tidak masuk hari ini.
          “ah enggak ahh” jawab Haqi canggung.
          “oh kirain”, santai Sasa.

          2 Maret 2010.
          Lima bulan bersama seorang Haqi, aku merasakan kebahagiaan, sekaligus kesengsaraan. Ada beberapa waktu di mana aku terpuruk yang tidak disinggahi Haqi, bahkan bayanganya pun TAK ADA.
          “manda!”, teriak ku pada Manda yang berada tidak jauh dariku.
          “hih apa sih Sa? Pake teriak segala? Kenapa kenapa , kangen. Tau kok tau”, canda Manda yang tidak pernah lepas dari sifat kocaknya.
          “ah kamu nih Nda! Aku mau ngomong nih penting”, pintaku penuh harap.
          “apa?”, tanya Manda.
          “bisa enggak kita ke taman belakang sekolah? Bentarrrr ajaa? Yayayaya?”, pintaku dengan nada memaksa.
          “ialah iaa”, jawab Manda seadanya. Aku pun langsung menarik tangan Manda.
         
          Masalah di mana aku merasa Haqi merasakan pandangan berbeda terhadap Tasta mungkin sudah lenyap dari bayanganku. Mengingat Tasta yang kini berpacaran dengan seorang Danu, kakak kelas, mereka jadian tanggal 24 January 2010, sedangkan Manda, kini ia berpacaran dengan Dika, mereka jadian tanggak 17 February 2010. aku tak perlu khawatir, kini Tasta telah menjadi milik ka Danu. Lantas aku pun menceritakan masalah ku kali ini pada Manda. Akhir-akhir ini, perlahan maslah mulai datang ke kehidupanku, bahkan nampaknya mulai memanaas, hal pertama : aku di keluarkan dari organisasi kelas, dan yang kedua : Haqi tak pernah ada di saat aku butuhkan dia.
          “terus aku mesti gimana? Aku tau kamu tersiksa, tapi aku bisa apa cobaa Sa?”, bingung Manda setelah mendengar curhatan Sasa.
          “change it! Change my life!”, ketus ku pada Manda.
          “wait! Hei aku Cuma manusia biasa, sayang! Bukan Tuhan. Hah, aneh aja nih permintaanya”, jawb Manda.
          “hikkssss”, aku mulai menangis.
          Inilah perasaan wanita, sekalinya tergores luka pasti langsung meluapkan nya dengan air mata, tapi apa itu salah? Bagiku itu lumrah, banyak wanita yang sering melakukan hal itu, terutama aku. Kini aku harus memutar otakku, agar bisa selesaikan masalah ini, masalah yang cukup menguras nafsu makanku.
          Aku butuh Haqi, aku butuh Haqi untuk selalu menghapus air mata ini. Tak kan mudah untukku bila sendiri, biar kita miliki rasa bahagia, ingin selalu bersama di dalam ruang dan waktu. Mungkin itu cukup mewakili perasaan ku.
          Haqi menghampirku, di tengah air mataku yang mulai meluap-luap, Dika pun ada di samping Haqi.
          “kenapa ade?”, tanya Haqi padaku. Kini kami punya panggilan baru, ade dan kakak untuk di sekolah.
          “enggak”, jawab ku yang masih tersedak air mata.
          Haqi pun duduk di sampingku. Dengan terpaksa Manda bangun dari duduknya dan langsung berdiri berdampingan dengan Dika yang masih melipat tangannya.
          “jujur aja Sa, ngebohongin perasaan sendiri yuh enggak enak tau”, celetuk Manda yang ikut-ikutan melipat tangannya. Dalam keadaan ini, Manda dan Dika benar-benar mematung.
          “aku lebih suka negebohongin perasaan aku sendiri, dari pada harus nangis dan-“, singkat ku lalu terputus.
          “dan mendem perasaan itu sendiri? Ia?, terus kamu anggep kakak apa de?”, sambung Haqi mantap.
          “kamu? Siapa?, kamu orang terpenting dalam hidup ade, kak! Tapi kaka kemana? Ade kangen jalan bareng kaka, kalau kaka juga masih sibuk sama band kaka, gimana ade mau bilang semuanya? Hah? Ia kan”, alasanku.
          Haqi hanya terdiam, begitu pula dengan Manda, dan Dika. Manda masih melipat tangannya, dan kemudian Dika melepas lipatan tanganku lalu langsung menggenggam tangan Manda. Saat aku melihat itu, entah kenapa, aku benar-benar merasakan sakit, perihnya hati aku sendiri. Hati ini ingin berontak, agar aku tak kecewa dengan Haqi, tapi? Ini luka yang begitu besar, untuk keskian kalinya kesempatanku benar-benar tidak termanfaatkan untuk Haqi.
          “kenapa kaka diam?”, tanyaku kemudian melihat Haqi yang tertunduk. Sepertinya, Haqi pun ingin menangis saat itu.
          Tanpa aba-aba, Haqi langsung menarik tanganku dan memelukku. Nampaknya dia tak memperdulikannya lagi, entah ini sekolah atau bukan, tanpa ragu ia memelukku. Sepertinya ia mencoba sembunyikan air matanya dihadapanku, tapi? Perasaan perempuan begitu peka, tanpa dia harus beri tahu air matanya yang mulai mengalir , aku sudah mengetahuinya lebih dulu.
          “enggak usah di hapus air matanya”, pinta ku pada Haqi. “aku tau, kamu sibuk, tapi apa bisa kamu kasih waktu kamu, 10 menit aja, untukku aku? Keadaan aku jatuh banget!”, ujarku yang masih menangis dan dalam pelukan Haqi.
          Manda dan Dika hanya bengong melihat kami. Manda mulai bingung dengan keadaan ini, maslah nya mulai melebar, bahkan Manda bingung harus berbuat apa. Tanganya masih dalam genggaman Dika, Manda pun menyenderkan kepalanya di pundak Dika. Dika tersenyum sambil melihatku yang nampaknya melemas di pundak Dika.
          “ade, kakak minta maaf yah? Maaf. Kakak janji ini yang terakhir, kaka enggak akan nyakitin ade lagi, atau bikin ade nangis lagi, pegang janji kaka. Ade kasih kaka kesempatan kedua yah? Kaka sayang ade”, lembut Haqi lalu melepas pelukannya. Haqi pun menghapus air mataku.
          “ia”, singkatku sambil mengangguk dan tersenyum. Aku, Haqi, Manda dan Dika saling berpelukan saat itu. Ini hari yang indah, walaupun di awali dengan air mata. Syukurnya guru-guru sedang mengadakan rapat, dengan demikian,  waktu untuk selesaiakn masalah ini menjadi lebih banyak.
          “balik ke kelas yahh? Udahan ah nangis-nangisnya. Betem nih mata Manda”, gerutu Manda sambil tertawa kecil.
          Yup, kami kembali ke kelas kami masing-masing. Bahkan saat mulai keluar dari taman belakang sekolah, Aku masih bergandengan tangan dengan Haqi, begitu pula dengan Manda dan Haqi yang tidak berada jauh dari aku dan Haqi.
         
          INI mungkin akan berakhir, namun apa kalian yakin? Hidup ku akan jauh lebih indah?. Mungkinkah aku akan tetap menapaki hidupku dengan Haqi, Haqi cukuplah buat pelangi saat mendung, Manda dan Tasta cukup menjadi mentari saat hujan. Trimakasih untuk segalanya. Dan Imka? Kini kami mulai banyak tersita jarak kami dan dia, entah bagaimana kabarnya sekarang, aku hanya berharap, keajaiban akan kembali bersamanya dan membawanya bersama kami, di samping kami.
         
          The end J L
       
         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar