Sabtu, 29 Januari 2011

so how about this monkey? what happend with this animal?

awan jingga


AWAN JINGGA

Dan jika harus ku terima kenyataan ini dokter mendiapnosa aku 5 bulan lagi, aku akan pergi atau aku di nytakan tak bisa hidup terlalu lama, aku menderita leukimia.
            Santai  ku buka jendela, banyangn tubuhku menempel pada tembok kamarku, kicauan burung terdengar jelas dari balik jendela yang barusan aku buka. Hidupku tak seindah yang kalian bayangkan, hidup bahagia di tengah orang-orang yang menyayangi ku, di tengah-tengah orang yang bias membuatku tersenyum bahkan tertawa. Inilah hidupku.
            “hai Jingga”, sapa seseorang dari balik tembok.
            “iaa???”. Jawabku seadanya
            “mau kemana?”, tanyanya santai yang padahal Jingga pun tak mengenalnya.
            “ehm mau ke sekolah”
            “oh ia yah”, kan sekarang kamu pakai seragam”, jawab perempuan itu seadanya.
            “kenapa?, ehm maaf , sepertinya aku enggak pernah kenal kamu hehee”, Tanya ku
            “jelas lah, kita kan belum kenalan, aku Pelangi, aku anak kelas 9E, kamu Jingga anak kelas 9A kan?, aku emang jarang keluar dari kelas ku, aku cenderung lebih suka diam di kelas dan-“, putusnya
            “dan apa?”, Tanya ku.
            “lihat jam kamu Ingga!”, sambil melirik jam tangan Jingga
            “oh god, liat!” sambil menjulurkan pergelangan tangannya yang di selimuti jam tangan. Menunjuk pukul 06.50.
            “WAAAAAA”, teriak Jingga dan Pelangi bersamaan. Lalu langsung berlari kencang.
            Sampai di sekolah, telat. Gerbang sekolah di tutup rapat. Untungnya bukan hanya kami yang berada di luar sekolah, namun ada beberapa anak juga yang berdiri mematung di depan gerbang sekolah.
            “ok, kita telat”, kesimpulanku kesal
            “yaudahh lahh , bentar lagi juga kita boleh masuk”,santai Pelangi
            Hingga..
            “kalian semua masuk”, pinta seorang guru lalu membuka gerbang lebar-lebar
            Kami semua langsung masuk ke dalam sekolah, setelah beberapa menit kami berdiri menjadi bahan pandangan.
            “hahh, akhirnya”, ujar Pelangi sambil menyeka keringatnya
            “liatt dehh itu”, kata Jingga sambil menganga melihat lelaki yang lewat di depannya
            “apaan?”, Tanya Pelangi sekali lagi, lalu mulai mengerti setelah Jingga kembali menunjuk lelaki itu. “oh diaa, dia Awan ,Ing”, jawab Pelangi seolah membongkar keheranan Jingga. “why? Are you get a crush with him? Haha”
            “hahahahahaaa”, jawabku dengan candaan
            Sejak saat itu, Jingga dan Pelangi mulai bersahabat. Mereka habiskan waktu mereka bersama, bahkan Jingga hampir melupakan apa yang dokter katakana padanya. Jingga pun tak ingin membuat Pelangi khawatir dengan apa yang dokter katakan padanya, ia hanya ingin Pelangi menyayangi Jingga bukan karna kasihan, atau hanya ingin mengisi hari-hari Jingga dengan tawa namun terpaksa.
            Pelangi pun kini mengajarkan Jingga tentang arti hidup, parahnya orang tua Pelangi telah meninggal dua bulan yang lalu akibat kecelakaan, sekarang Pelangi tinggal bersama tantenya. Pelangi dapat dikatakan sebagai anak milioner, dia anak tunggal, seluruh warisan jatuh ke tangannya, dan Pelangi mempercayai itu semua pada tantenya. Pengalaman hidup Pelangi jauh lebih miris dari pada apa yang Jingga alami. Orang tua Jingga, bercerai baru-baru ini, Jingga bagaikan barang, setiap seminggu sekali ia berpindah rumah, ke rumah ayahnya lalu ke rumah Bundanya. Ia bahkan tak percaya jika hidupnya ini akan berjalan terjal, sejak kejadian itu pun, Jingga mulai sulit tersenyum, ia berubah menjadi Jingga yang diam, yang sebelumnya Jingga ceria, ia sekarang menjadi Jingga yang kelam, tanpa senyum. Jingga pun tak pernah menceritakan apa yang dokter katakan pada orang tuanya. Sebenarnya, ketika Jingga hampir menceritakan itu, orang tua, orang tuanya lebih dulu bercerai. Sejak saat itu, JIngga merasa tak pernah ada yang menyayanginya.
            Jingga hanya berharap Pelangi dapat meminjamkan pundaknya untuk kesedihanku yang kemungkinan semakin bertambah.
            “enggak kerasa kita udah bersama satu bulan yah”, kata Pelangi sambil melihat kalender dan melihat tanggal 14 February  2010, karna Pelangi mulai mengenal Jingga tanggak 14 January 2010.
            “semuanya seakan berjalan cepat”, senang Jingga tanpa melepas headset nya yang masih terdengar jelas lagu check yes Juliet, dari we the kings.
            “hahahhaaaaa”, sambil menyatukan lima jari Jingga dan Pelangi. Mereka sangat senang saat itu.
            Kini Jingga mulai memanjangkan bibirnya 2 cm ke kanan dan k e kiri.
            “eh aku ke kelas yah”, kata Jingga sambil melepas i-pod nya
            “ok. Istirahat ke kelas aku yah, Ing”, pinta Pelangi
            “sip”, sambil mengancungkan jempolnya dan menghilang dari pandangan Pelangi.
            “BLAMMNN”, dentaman pintu yang di dorong mengarah tepat pada lenganku yang saat itu aku sedang merapikan tali sepatu ku.
            “awwwwww”, teriakku kesakitan. “sakittt”, keluh Jingga sambil memegang lengannya yang nampaknya memar
            “eh Ingga, maaf yaaah Ing”, kata salah satu teman lelaki yang melakukan perbuatan pada Jingga
            “ia “, keluh kumasih merintih kesakitan
            Jingga  di tuntun masuk ke UKS sekolah. Berbaring sambil mrintih sakit.
            “sakit”, ujar Jingga sambil tersedak air mata
            Pelangi keluar dari kelasnya dan masuk ke UKS. Dilihatnya Jingga yang menangis.
            “kenapa?”, Tanya Pelangi yang lalu di jelas kan oleh salah satu temanku.
            “kenapa ini?”, Tanya seorang lelaki yang sepertinya Jingga pernah kenal
            “eh kamu Wan, tolong dong ini. Temen aku. Kayanya terkilir”, singkat Pelangi. Awan pun langsung menghampiri Jingga dan memeperhatikan tangan Jingga lalu mengangkatnya.
            “arrgggggh, sakit”, teriak Jingga
            “eh maaf. Maaf. Kayak nya parah, lebih baik kamu pulang dank e rumah sakit sepertinya tangan kamu harus di rawat sama yang ahlinya deh”, ujar Awan. Jingga masih terkesima dengan paras Awan, lelaki polos ketua PMR.
            Jingga bertahan, hingga akhirnya dia dapat pulang saat memang jam pelajaran selesai.
            Bunda seperti tak bias mengantar Jingga, dia terlalu sibuk dengan bisnis barunya yang sampai ke luar negri. Untung masih ada ayah, ayah mengantar Jingga sampai ke rumah sakit, hingga pulang Jingga memakai gips yang mungkin selama beberapa bulan ini akan mengganggu geraknya.
            “yah, besok aku sekolah kayak gini ya?” sambil melihat tangan kiri Jingga yang ini akan di gendongnya kemana-mana
            “ia sayang. Tenang lah, nanti juga di lepas kok”, jawab ayah kalem, Jingga hanya mengangguk karnannya
            Sekolahhhh lagiii………..
            “hahahaaaa, akhirnya tangan kamu di gendong yang Ing?”, canda Pelangi
            “ah kamu ni, temen menderita di ketawain”, kesal Jingga.
            Tawa Pelangi meredam ketika Awan menghampiri mereka.
            “udah enggak pa-pa kan?”, Tanya Awan seolah khawatir
            “enggak”, jawab Jingga
            “eh Wan, kita mau ke kantin nih. Mau ikut?”, ajak Pelangi
            Jingga melihat gerakan mata Pelangi yang seolah mengajak Awan untunk menjawab ‘ia’.
            “mau ngapain nih anak? Tiba-tiba ke kantin. Di depan dia mana mungkin aku bisa makan, yang ada malah grogi”, kata ku dalam hati sambil tertunduk
            Awan menolak ajakan Pelangi. Akhirnya mereka pergi ke kantin berdua.
            “ngapain ngajak Awan ke kantin sih?”, kesal Jingga sambil memanyunkan bibirnya
            “haiooo, kamu suka kan Ing? Haiiooo? Udah lahhhh jangan ngibul deh sama akuu, kamu kira aku enggak tau apaa”, singkat Pelangi membongkar rahasia Jingga
            “sepertinya ia J”,senyum Jingga
            “ahkkk kamu! Kok sepertinya. Enggak yakin sendiri sama perasaan kamu sendiri, aneeh dehhh”, gerutu Pelangi sambil meminum minuman sodanya
            “suka atau enggak yaahhhh??”, Tanya Jingga pada dirinya sendiri
            “anehh”, putus Pelangi sambil mendorong pundak Jingga
            Jingga terkikik sendiri sambil menahan senyum malu-malunya.
            “ehhhhh kaliannn, aku boleh gabung engak. Tawarannya aku terima nihh”, kata Awan yang tiba-tiba muncul di belakang Jingga
            “oh boleeeh baanget”, kata Pelangi memotong yang sebelumnya ingin Jingga melarang nya. Awan pun duduk di samping Jingga. Tiba-tiba badan Jingga dingin dan mulai berkeringat, ia merasa darah nya muai menaik ke otaknya dan dentaman jantungnya yang tak seperti biasanya
            “ehh kalian di sini bentar yah, aku mau ke kelas ambil sesuatu. Kalau dalam 5 menit aku enggak dating, kalian balik ke kelas kalian aja dehh,dahhh”, pendek Pelangi tinggal kan Jingga dan Awan.
            Lima menit berlalu, Pelangi tak kunjung kembali pada mereka.
            “ehh, balik aja yah? Si Pelangi mungkin lupa sama kita, kalau kita di sini”, pinta Awan lalu membantuku keluar dari kursi yang memang panjang itu
            “okee dehh”, jawabku. Tak sengaja tangan Jingga tersenggol salah seoraang yang lewat di sampingnya. “awwww”, keluhnya sambil melihat tangannya
            “kamu enggak pa-pa Ing? Kenapa Ing?” Tanya Awan yang tiba-tiba perhatian
            Kami berdua terdiam di posisi itu, aku merasa tangan ku sama sekali tak merasa sakit, Jingga terdiam sambil tersenyum
            “haha”, Jingga balas raasa posesif Awan dengan tawa
            “hehee”, Awan pun tertawa dan langsung berjalan di samping        Tanpa mereka ketahui, Pelangi melihat senyum ceria mereka.
            “woo, berhasil”, kata Pelangi sambil menggengam tangannya
            Bel pulang bebunyi begitu nyaring, bahkan Jingga amat senang mendengar bel barusan, ia menghampiri kelas Pelangi yang berada tidak jauh dari kelasnya. Kini jingga benar melupakan perih yang ia rasakan, biarlah orang tuanya berpisah dan biarlah mereka yang selesaikan masalah mereka tanpa aku,dan biarlah aku sejenak tinggalkan apa yang dokter katakana pada ku, Jingga hanya ingin merasakan suatu cinta di hidupnya, Jingga hanya ingin untuk terakhir kalinya ia tersenyum bangga di samping orang yang ia sayang.
            “PELANGI”, sapa Jingga dari luar kelas Pelangi
            “ehhh Ingga, yuuk balik”, pinta Pelangi sambil menarik tangan Jingga
            Seketika saat Pelangi menarik Jingga, Jingga malah melemas dan sekujur tubuhnya mendadak dingin, sedingin batu es. Jingga pinsan dan tiba-tiba terduduk dipintu kelas Pelangi. Mendadak Pelangi histeris.
            “jinngga, kenapa kamu”, tanya Pelangi bingung sambil menepuk pipi Jingga berkali-kali
            Hingga akhirnya Jingga sadar ia telah berada di kamar rumah sakit.
            “pasti di rumah sakit”, tebak Jingga sambil tersenyum dan tersadar dari koma yang berlangsung 3 jam
            “ia!”, kesal Pelangi “kamu kenapa sii, Ing? Tiba-tiba pinsan, badan loe dingin tau enggak. Gue bingung mesti gimana. Tapi untunglah kamu sadar”, kata Pelangi menurunkan nada bicaranya
            “JINGGA”, tebak Awan yang seolah tergesa
            Pelangi dan Jingga serentak beralih pandang ke arah suara itu yang ternyata adalah suara Awan
            “awan?”, senyum Jingga dan langsung mendekap Awan saat Awan ada tepat di samping kasurnya
            “ia Ingga, gue di sini”, sejuk Awan yang membalas pelukan Jingga
            “permisi,”, ucap salah satu dokter yang tiba-tiba datang ke kamar Jingga
            “ia, silakan dokter”, balas Jingga seolah mengenal lama dokter itu
            “ayah mana Ingga? Bunda”, tanya dokter itu beruntun
            “nanti juga kesini, itupun kalau dia tau”, ujar Jingga dengan nada kecewa
            “yaudah, biar saya yang telpon mereka”, pinta dokter itu hampir keluar dari kamar dokter
            “jangan!”, kata Jingga tiba-tiba “biar aku aja yang telpon, ehmm dokter bisa ke samping ku sebentar?”, pinta Jingga
            “tentu”
            “apa ini akhir hidup ku?”, tanya Jingga pada dokter itu sembari berbisik. Pelangi dan Awan hanya memperhatikan gerak-gerik mereka dengan seksama.
            “don’t think like that”, balas dokter itu
            Akhirnya Jingga bermalam di rumah sakit, bersama bau nya yang khas dan infuse yang senantiasa mendampinginya.
            “satu hari deh aku disini”, kata Jingga pada Pelangi yang semalaman menjaga Jingga
            “tenangg besok pulang”
            Dokter itu pun untuk yang kesekian kali nya memerikasa keadaaan ku yang sepertinya nampak buruk, darah putih kini telah mengambil alih kerja darah merah. Keadaan yang semakin buruk ini, membuat Jingga mengingat kembali jika apa yang dia harapkan, sepertinya tidak akan terjadi, bahkan yang lebih buruk, Bunda Jingga kini pindah ke Australia, sedangkan Ayahnya tetap di Indonesia meskipun dalam satu minggu harus pulang-pergi ke berbagai kota bahkan Negara.   
            “harapan hidup”, kata JIngga tiba-tiba, membuat Pelangi tiba-tiba menganga
            “maksud kamu apa?”, heran Pelangi
            “aku kena leukimia Ngi, aku sakit, parahh”, sedih Jingga hingga air matanya jatuh “dan kamu tau, di ujung akhir ku, aku enggak bisa mendapatkan apa yang aku pengenin!”, yang ujungnya Jingga menjelaskan apa yang terjadi
            “kenapa kamu enggak bilang dari duullu sih Ing? Kenapa?, kenapa baru sekarang kamu ngomong!? HAH?”, kecewa Pelangi sambil menggenggam tangan Jingga
            “maaf, aku enggk mau kamu jadi sahabat aku karna kasihan sama aku!”, jelas Jingga
            “aku tulus bersahabat sama kamu tulus Ingga, kenapa si kamu kayak gini?”
            “ia maaf”, pinta Jingga kembali
            Seperti biasa Awan datang menjenguk Jingga, yang beda adalah ia membawa sebuah boneka teddy bear, boneka yang Jingga anggap sebagai boneka terbaik sepanjang masa.
            “makasih Wan”, ucap Jingga setelah Awan memberikan boneka itu
            Setelah Jingga meminum obatnya, ia terlelap tidur bahkan. Orang yang ada menemani Jingga adalh Awan, Awan pun ikut terlelap disamping Jingga dengan tangannya yang masih menggenggam Jingga
            Awan terbangun dan dia sadar, ia tertidur pulas hingga jam 4 sore.
            “eh uda bangun”, kata Pelangi tiba-tiba muncul dari balik pintu “maaf, aku enggak bangunin kamu. Tadi aku liat tidurnya Jingga pules banget di samping kamu. Kan selama ini Jingga jarang tidur pulas”, jelas Pelangi.
            “hoaaammmzzzz”, Jingga menguap lebar. Ia membuka matanya dan melihat Awan yang bergegas pulang
            “Awan, kamu mau kemanaa???, aku masih butuh kamu”, kata Jingga dengan sisa-sisa tenaganya
            “akuu ehm-“
            “udah lah kamu di sini dulu!”, tambah Pelangi
            “Awan”, panggil Jingga kembali
            “apa? Ing?”
            “akuuu.. ehmm-“, gugup Jingga saat ingin mengatakan jika ia menyanyanginya
            “apa?”, tanya Awan kembali lalu menghampiri Jingga
            “kamu tau Jingga, Awan itu akan indah jika berwarna biru, bukan Jingga, Awan Jingga cenderung akan mendarangkan hujan, dan kamu tau Jingga, Awan rela jika harus ada Awan berwarna Jingga, sekalipun itu mendatangkan hujan”, bijak Awan buat Jingga tersenyum “dan yang terpenting, aku sayang kamu Jingga”, ucap Awan buat Jingga bingung.
            “aku jugaaa Awan”, balas Jingga, Awan pun langsung membelai jidat Jingga sambil tertawa.
            “Awann”
            “apa?”, kata Awan ingin tahu
            “aku, aaakk-u saa-yanng kamuu”, ucap Jingga tebata-bata seolah nafasnya terbatas. Tiba-tiba Jingga menutup matanya perlahan sembari tersenyum
            “jingga?”, sahut Awan
            “jingga”, sahutnya kembali dengan nada berteriak
            “kenapa si kamu?”, gerutu Pelangi yang seolah terganggu “lagi asik baca novel, teriak-teriak!”
            “Ngi, itu Jingga!”, kata Awan sambil menunjuk Jingga
            “kenapa? Tidur kali dia kecapean!”, simple Pelangi
            “beda Ngi, diaaaa… seperrtinya..”, jelas Awan dengan nada putus asa
            “jinggaaa”, teriak Pelangi
            Detak jantung Jingga begitu lemah. Tapi disaat seperti itu Jingga masih bisa terssenyum dengan matanya yang masih terpenjam, hingga tepat pukul 17.30,Jingga pergi, tinggalkan segalanya.
            Kali itu Awan begitu terperuk, ia menangis hingga pemakaman selesai.
            “Wan, mungkin kamu merasa janggal sama kepergian Jingga, tapi Wan, sebenernya Jingga itu kena leukimia !”, jelas Pelangi membongkar rahasia itu pada Awan, orang tua Jingga pun ikut mendegar
            “hah”, mereka menganga sambil mendekap mulut
            “jadi selama ini?”, tabak Ayah Jingga
            “ia om, dia sekarang jarang ketawa karna itu!”, penjelas Pelangi
           
            Kini Awan pun kembali berwarna biru, tanpa Jingga

            The end L
             


jika aku


Jika aku

“jika boleh aku menjerit, aku ingin menjerit
Disamppingnya didekapnya.
Tidak ada satu pun yang mungkin bisa terima kau
Seperti yang tidak rela melakukan apa yang aku pinta
Aku bukan milikmu, cinta. Tapi apa kamu tau
Karna hal itulah yang membuat aku bertahan
Hingga kini”

          Tak kukira akan menjadi seperti ini, aku tetap sendiri meskipun telah ku tolak banyak lelaki karna aku sayang dia, dan apa kalian tau? Jika dibilang cinta berteppuk sebelah tangan, itu memang benar. Aku terus berusaha menjadi yang terbaik. Ku kira apa yang aku inginkan dapat terjadi, mungkinkah aku harus menunggu takdir yang mengubah nasibku tanpa bekutik? Aku berlari namun ternyata aku tak sanggup. Baru beberapa cm aku melangkah aku sudah tertatih bahkan terjatuh, yang paling miris, didepanku dia memeberikan komentar cantik kepada perempuan lain yang jelas sama sekali tak mengetahui siapa dia sebenarnya.
Inilah awal mula langkahku, menjejaki bumi mengerti cinta alami.

          Aku menjerit keras lalu memegang erat ponsel yang aku bawa. Seseorang mencoba merebut paksa ponsel ku. Sekencang mungkin aku mencoba memberikan perlawanan. Namun naas, ponsel yang baru beberapa hari menjadi milikku, raib diambil seseorang yang entah siapa.
          Dengan tampang lesu, aku berjalan menuju sebuah taman yang terletak dekat dengan sekolahku.
          Aku duduk sambil terdiam, aku buka ponsel ku yang lain.
          “pencuri bodoh, kalau laaper bilang! Jangan sembarangan ambil handphone orang gitu dong! Enggak sopan” gerutuku.
          “dehidrasi mbak?” tanya seorang lelaki yang menatap keringat ku seperti wanita yang habis lomba lari marathon.
          “huuuuuuhh!” keesal ku tanpa meliaht lelaki itu.
          “ouuwwww” persingkat lelaki itu lalu dengan santai duduk di sampingku. Sementara aku masih tertunduk dan membayangkan 3 hari ku bersama ponsel baru ku.
          Lantas aku palingkaan pandanganku kearah lelaki itu, engg-ingg-engg. Kalian tauu? Dia adalah cowok yang aku taksir dan aku belabelain nolak cowok lain karna dia. Cowok aneh, cuek, enggak ada modal buat pacaran, jutek, gilakk, lucu, gokil (menurut guee).
          “eh kamuu” cela ku bicara lebih lembut.
          “jadi diri kamu yang asli aja kali, kaget yaa deket- sama cowol cool kaya gue” santai lelaki itu.
          “apaan si kamu Dion! Kamu pikir lucu apa!” kesal ku.
          “maaf kan dakuuu” candanya lalu mulai bertanya permasalahnya. Singkat aku jelaskan kejadian yang baru saja terjadi. Herannya dia malah terkikik sendiri mendengar celotehku pada pencuri itu.
          “kamu ketawa?”
          “kamu lucu. Apa kamu enggak pikir, kamu lebih milih mana? Kehilangan orang yang kamu sayang atau ponsel kamu itu? Pikir kedepan , dibalik suatu kejadian pasti ada hikmah nya kok. Don’t be afraid, santaiii kan masih ada ponsel yang lain? Ia enggak??” bijak Dion.
          “thank’s yaah” senyum ku.
          “btw, kamu sedih gara-gara di dalem itu ponsel ada foto aku yah?” canda Dion kembali.
          “akkkhh udahlahh, aneh kamuu”
          Inilah aku, panggil aku Eca, sebenernya namanya Rahesya cuman lebih simple di panggil pake nama itu. Tadi yang barusan berbincang sama aku, dia itu orang yang akku harap jadi boyfriend aku, tapi malah sebaliknya. Kejadian yang terjadi barusan cukup membuat aku senang, karna da dia disamping ku, sayangnya kejadian itu tak begitu lama. Beberpa menit kemudian, 3 sahabat Dion datang dan merampasnya dari ku.
          “menyebalkan” ucap ku melihat keadaan sampingku yang hampa. Padahal aku berharap, aku bisa di bonceng sama dia sampe ke sekolah pake sepedanya (romantiskaaann??).
          Kesekolah sendirian, udah kejadian yang terjadi sebelum sekolah ini membuat aku jengkel setengah mati.
          Brrukkk….
          Dentaman keras terdengar jelas dari suara tas ku yang aku lempar, itu belum cukup untuk mewakili perasaan ku karna kejadian tadi.
          “hoaaaammmzz” aku menguap lebar. Aku menghampiri salah satu sahabatku lalu duduk disampinya.
          “setrika tuh muka, jangan Cuma baju lu ajaa” singkat Atsa sahabatku sambil mendorong pundakku.
          “ah kamuu. Tadi handphone aku dijambrett tau enggak! Terus tadi aku nenangin diri di taman dekat sekolah, ehhh terus ada Dion tapi gara-gara sahabat-sahabat dia dan dia ambil Dion gitu aja. Hihhh apa mereka enggak liat aku yaa? Nyebelinn. Coba tadi enggak ada mereka, mungkin aku bisa dianter dia sampe sekolah. Di boceng pake sepeda bututnya” tawaa ku yang disusul oleh tawa Atsa.
          “bisa ajaa luu Ca!”
          Pelajaran dimulai, hahh pelajaran matematika dan gurunya udah tersohor sebagai giri killer hihi. Garing denngerinnya, aku lebih memilih membaca novel yang aku bawa dari rumah. Tanpa banyak ba-bi-bu, aku pun langsung merangkap buku matematika ku dengan buku novel itu. Dengan santai aku berpura membaca.
          “gilakk lo ya Ca, disaat kaya gini masih sempet ajaa baca novel”. Memang seorang Eca yang jail ini paling suka sama baca novel, dan enggak pernah bisa diajak serius sama pelajaran matematika. Tapi giliran masalah CINTA beeeeuhh jangan ditanya. Pengalamannya beeejibunnnn (lu kira busa bejibunn) sekalinya ngerasain falling in love atau berharap cinta dia bakal jadi Eca yang bener-bener deeeewaaaasaa.
          “bawel luu” balass ku berbisik. “udah sana dengerin itu guru, kalau ada sesuatu yang terjadi miscall yeee” candaku sambil meneruskan membaca.
          Akhirnya bel istirahat berdering keras. Aku pun langsung beranjak pergi dari kursiku.
          “dionn?” tebakku.
         
          Apa kalian tau, cinta yang indah adalah cinta yang masih bisa tersenyum padahal seorang yang dia sayng jelas memilih yang lain. Jujur, jika itu terjadi aku tak rela. Mungkin aku memang anak yang begitu keras kepala, tapi ini cintaku. Rasa ku besar untuknya, bahkan aku berharap suatu kecelakaan terjadi padanya dan hanya ada aku melindunginya. Aku ingin melakukan suatu yang terbaik untuknya, aku mengharapkan itu dan percaya jika tuhan akan mendengarya. Dion melihatku dan aku pun langsung berbalik arah memutar arah jalanku yang semula ke perpustakaan menjadi ke kantin. Bingung, apa yang harus aku katakan dihadapnya? Penting ya, jika aku bertanya kabar? Yang sudah jelas tergambar dari wajahnya yang suda bisa menggambarkan keadaannya.
          Lebih baik akuu diam, aku alihkan pandangan ku pada jam tangan ku dan memastika sisa waktu istirahat ku tersisa 12 menit lagi.
          “lebih baik aku bersantai di balkon kelas dan membaca novel ku hingga tamat” dalam benak aku berbicara.
          Sambil berssenandung aku pun berjalan santai menuju kelas ku. Terpampang jelas, pemenang lomba bahasa inggris yang diadakan beberapa hari lalu. Disna tertera jelas nama Dion, Dion Putra Rahandja. Aku tersenyum sendiri sambil menyentuh tulisan nama lelaki itu. Tapi sayang nama ku tak ada (cacciian dee looe). Ku teruskan langkahku. Aku duduk di salah satu anak tangga menuju kelas ku, mengubur keinginan ku untuk membaca novel tersebut.
          “hahh, kapan yah yang aku harapkan terjadi?” pintaku dalam hati.
          “heh nenek lampir, kemana aja luu! Gue carriin tau enggak. Tau nya ada disini!” celetuk Atsa lalu duduk disampingku.
          “kenapa kengenn?” candaku.      
          “loe nangiss Ca?” tanya Atsa melihat aku yang suram.
          “apa aku enggak layak buat Dionn?. Apa aku enggak sesempurna mantan dion sebelumnya yah? Aku emang jelek yah Tsa? Dan apa aku harus ancem dia supaya ngerti apa yang aku rasain?” tanya ku bingung, aku pun laangsung memeluk Atsa dan menangis di peluknya (ini nih gunanya sahabatJ)
          “enggak Ca, lo enggak perlu jadi orang lain. Dan apa si untungnya kamu nunggu anak so-cool itu? Hah? Buang-buang tenaga kamu tau enggak. Sumpah yah, gue enggak akan pernah rela kalo ada seseorang yang bikin hidup sahabat gue jadi biingung kaya gini” kesal Atsa sambil berkomentar.
          “tapi Tsaa” sanggah ku.
          “apaa? Enggak tega?. Masih banyak yang antri jadi pacar kamu. Bodoh banget kamu ngarepin diaa!” kesal Atsa padaku.
          “terusss aku mesti gimana? Aku terlanjur SAYANG sama diaa” keras ku sambil terisak di dada Atsa.
          “gue kaya gini karna gue peduli sama lo Ca!. dunia tuh lebar, masih banyak stok cowok tau enggak! Dan mngkin jauh lebih baik dari padaa Dion!” sentak Atsa.
          Aku tak kuat lagi, aku berlari meninggalkan Atsa. Semua teman yang aku lalui, terheran melihat air mata yang membasahi pipiku. Aku tak berniat menghapus air mataku, aku hanya ingin Dion melihat ini. Aku ingin membuat Dion sadar kalaau akuu, sukaa diaa.
          Tak berselang lama, aku pun menemukan salah satu kursi kosong di dekat koridor sekolahku. Seorang Eca yang tegar, enggak akan menangis. Ucap ku dalam hati namun naas nya kata-kataku tak berarti sama sekali. Aku terus terdiam sendirian, dan untungnya di tempat aku sendiri, dapat dikatakan sepi. Bel masuk berbunyi, terdengaar jelas di telinga ku dan lumayan membuat ku kesal.
          Perlahan, aku menghampiri kelas ku. Yang sudah dapat dipastikan pasti aku terlambat masuk kelas, yahh walaupun Cuma 5 menit. Melihat keadaan ku yang lemah ini, berlari merupakan hal yang tidak mungkin aku lakukan. Terpaksa aku berjalan tertatih. Memang, semenjak aku mengenal Dion, pikiran ku sangat terkuras karna terus mengingatnya. Aku sering berangan-angan, ada Dion di sampingku, dan itu adalah hal yang tidak mungkin.
          “tok tok tokk..” aku mengetuk pintu kelas ku perlahan.
          “dari mana kamu?” tanya salah satu guru paling nyebelin.
          “ehm maaf bu, tadi saya sakit” alasan ku seadanya.
          “baiklaah duduk!” untung guru itu tak menghukum ku dengan salah satu tindakan yang mungkin bisa buat aku pinsan mendadak.
          Hah, aku bosan dengan pelajaran ini. Bahkan aku begitu tak bersemangat dengan pelajaran ini, pelajaran matematika. Aku tatap papan tulis dengan pandangan kosong. Aku putuskan untuk mencuci muka ku ke kamar mandi, mungkin aku akan jauh lebih baik.
          “bu, saya izin ke kamar mandi ya bu” pinta ku.
          “ya” singkat guru itu tanpa melihat sedikitpun paras ku.
          “huh jutek” hatiku bergemuruh.
          Dengan santai aku ke kamar mandi, sekaligus dengan sengaja berjalan pelan. Sambil berkhayal tentang,yahh siapa lagi kalau bukan DION. Hari ini aku belum liat dia sama kawan-kawannya ngumpul di kantin. Hari ini benar-benar hampa, tanpa Dion.
          Sampai di kamar mandi, langsung aku basuh wajah ku dengan air yang bersuhu ruang. Sambil bercermin, aku semprotkan cologne pada tangaku. Aku pukul kedua pipiku bersamaan  sambil menarik nafas.
          “hari iinii, memilukan” ucapku berbicara di depan kaca.
          “jahat banget si diaa, dasar laki-laki jutek. Aku kira tindakan dia nenangin aku tadi karna diaa,,,,, hahh tidak mungkin, tidak mungkin orang se dingin Dion merasakan cinta aku yang bener-bener tulus ini. Dion, dion, kamu tuh kaya misteri baru buat aku tau enggak!” tambahku.
          Bergegas aku pergi kembali ke kelas ku sambil memasang i-pod ku. Dan untungnya,, bel berbunyi 3 kali, disusul dengan pengumuman. “bagi siswa dan siswi sekolah DIAMOND internasional school, dipersilakan pulang karna akan ada rapat penting. Atas perhatianya, terimakasih”. Semua siswa bersorak senang dan segera mengambil tas mereka masig-masing lalu bergegas keluar sekolah.
          “oww” singkatku mendengar pemberitahuan barusan.
          “ca, cepet balik!” pinta Atsa lalu menarik tanganku.
          “ia..iaaa”
          Kami pun pulang bersamaan. Tapat di depan ku, terlintas Dion dan sepedanya. Hah, coba aku bisa di bonceng dia, seandainyaaa.
          “ECAAAAAAA!” teriak Atsa sambil menepuk pundakku.
          “eh iaa” jawab ku canggung.
          “jangan ngelamun aja dong! Ahh kamu kenapa si? Hari ini aneh banget! Loe takut bilang kalo handphone loe di jambret? Oke lah gue Bantu ngomong! Hidup lu repot yeeee” garing Atsa yang membuat aku senyum seadanya.
         
          Aku sampai tepat didepan rumahku, rumahku neraka ku. Itulah sebutan yang tepat untuk rumah ku ini, rumah yang lumayan besar dengan model classic dan isinya pun yang sangat classic, di penuhi dengan vas vas besar , dan tanpa penghuni kecuali aku dan ke empat pembantuku.
          “enggak perlu Bantu aku ngomong! Lagian bonyok aku enggak akn ada dirumah”
          “oke deh, aku pulang duluan yah Ca, sampe ketemu besok. Daahhh” salam Atsa padaku.
          Aku tak berkutik lalu langsung masuk ke kamarku.
          Sementara pembantuku ku ribut menawarkan ku berbagai macam, seperti makan lah ini lah anu lahhh. Huh bosannnn.
          Lagu-lagu boys like girl terdengar jelas di telinga ku, aku mulai mengalihkan duniaku, berpindah ke dunia maya yang aku pikir akan jauh lebih baik dari hidup ku ini, yang penuh dengan kesengsaraan. Nyokap gue? Kerja , bokap juga sama. Pulang ke Indonesia Cuma 3 bulan sekali, emang duit ngalir tapi yang gue butuhin kasih sayang mereka. Hah coba mereka tau.
          Biarkan beberapa lagu terdengar keras bahkan aku bergeleng seirama dengan lagu ini. Sayangnya saat internet ku sudah connect, Dion lagi dalam masa enggak on . MENYEBALKAN. Semua orang yang aku butuhin enggak ada, Atsa enggak mungkin bisa diajak jalan hari ini, dia ka nada jadwal les piano hari ini, sedangkan aku yang pada hari ini lagi enggak ada jadwal les harus di rumah, hingga memupuk rasa bosan.
          “mesti ngapain coba kalau udah gini” bingung ku dalam hati.
          Aku beranjak dari kursi dimana aku duduk tadi, meninggalkan rumah dan pergi ke tempat dimana aku bisa menjerit bahkan menangis.
          “mau kemanaaa? Bingungg ahh”, tapi aku keburu melangkah pergi dari gerbang rumahku.
          Ku paksakan diri ku untuk pergi ke salah satu mall, hanya sekedar menyegarkan otak atau membeli novel-novel terbaru yang ada.
          Hanya sendirii,,
          Di kanan-kiri ku aku melihat sebuah senyuman yang berasal dari sebuag pasangan. Ingin rasanya, sekali saja merasakan apa yang mereka rasakan. Seumur hidupku, aku tak pernah merasakan kebahagiaan. Dan mungkin jika memang ada, itu tak berjalan lama, karna setelah itu akan mendapatkan jalan berbatu tajam, yang mau atau pun tak mau aku harus melewatinya, meski aku harus menangis.
          Setelah 3 jam lamanya aku mengkabiskan waktu ku di sana, aku putuskan untuk pulang. Kembali dengan desahan.
          Seseorang melihat ku dari atas hingga bawah, ketika aku melangkah menuju parkiran mobil.
          “apa sih”, kesal ku langsung beranjak masuk ke dalam mobil dan mulai mengendarainya.
          Ku biarkan lagu boys like girl terdengar jelas di tape mobil ku. Tiba-tiba ponsel ku bergetar hebat.
          “nona dimana??”, sahut salah seorang yang berbicara di balik ponselnya.
          “bawel ahh. Aku lagi di jalan mau pulang”, lantang Eca.
          Ku kendarai mobilku melaju cepat di jalan raya.

          Keesokan harinya……
          Tak seperti biasanya, Atsa datang ke rumahku. Ia nampak bergegas menghampiri ku untuk memberikan sebuah surat ber amplop biru muda.
          “apaan ni?”, heranku sambil memutar mutar suratnya.
          “tau tuhh. Tiba-tiba di kotak surat depan rumah gue udah ada itu Sa!”, santai Atsa.
          “hah? Ini surat buat gue kok di kirim ke loe si Sa?”, kembali ku heran.
          “auuuuuu ahhh. Udah yuuk kita berangkat. Liat deh sekarng udah jam berapa”, kata Atsa sambil menoleh ke arah jam tangannya.
         
          5 bulan mengenal Dion..

          Aku merasa lelah untuk tetap menunggu Dion di sini, di relung hati gue yang masih menunggu datanya Dion di hati gue.
          Hari ini sekolah ku tidak berjalan full seperti biasanya, tepat jam 10 pagi , semua murid telah dipulangkan, dengan alasan yang tak jelas. Seperti biasa aku menunggu jemputan ku datang, karna kebetulan mobil ku baru saja mengalami kecelakaan, dan untungnya aku selamat J.
          Ada Dion di sana, berada 100 meter dari tempat di mana aku berdiri sekarang, Atsa malah menatap Dion dengan pandangan ketus sambil memalingkan wajah ku agar tak menanggapi curian pandang seorang Dion.
          “sa, boleh pinjem pundak???”, pelan ku sambil menghampiri pundak Atsa dan bersender.
          “loe oke kan Ca? tiba-tiba kaya gini?”,
          Aku sama sekali tak menjawab pertanyaan Atsa barusan. Di pikiran ku hanya berisi oleh pandangan dan bayangan Dion, dan aku tau pasti jika Atsa mengerti apa yang aku rasakan kini.
          “tunggu sini yaa Ca, gue mau ada perlu”
          “oke”, lesu Eca lalu duduk membelakangi tempat di mana Dion dan kawanya bergerombol.
          Tanpa sepengetahuan Eca, Atsa menghampiri Dion.
          “heh Dion!”, kasar Atsa lalu menarik tas Dion hingga Dion berjalan mundur.
          “apaan Sa?”, heran Dion lalu melipat tangannya dan memainkan poni anehnya.
          “heh. Loe enggak ada kapoknya ya nyakitin Eca, loe rasaian enggak si yang di rasaian Eca. Kasian dia digantungin terus sama loe, loe piker enggak sakit apa? Hah? Dan apa loe tau, Eca nyimpen harapan besar ke loe, BODOH!. Dan apa ini balasan loe? Tersera loe mau piker Eca apa, pengemis cinta lahh ini lahh itu lahh, yang jelas gue enggak mau loe nyesel gara-gara sia-siain  ECA . sebenernya loe juga suka kan sama Eca? Ya kan? Dan loe pikir gue enggak tau siapa yang kirimin surat amplop biru buat Eca? Itu kamu kan, Ion?”,ketus Atsa yang membuat teman-teman Dion ikut menganga.
          “heheheee iaa Sa”, kata Dion seadanya.
          “udah cepet teembaaak dia, ayolahhh. Kesempatan enggak datang dua kali. Ngerti?”,
          “yah aku enggak ngerti gimana ngomomngnya”, polos Dion.
          “dasar loe, bilang ajaa, -eca kamu mau jadi cewe aku enggak-?”, saran Atsa.
          “ahh, Ecakan paling enggak suka di panggil KAMU?”, bingung Dion.
          “yaudahh, -Eca mau jadi cewenya Dion enggak-?”, saran Atsa kedua kalinya.
          “ahh sok imut banget”, santai Dion, membuang muka dan membuat poninya terbang terhembus angin. (cool bangett diaaa J)
          “huhhh. Ah enggak tauu llaahhh. Tersera kamuuu ajaa deh Ion!”, sambl mendorong Dion ke arah Eca duuduk.
          “kaya ada suara Dion ?”, taanya Eca dalam hati. Lalu memalingkan wajahnya kebelakang dan enggg-ingg-eengg disana ada Dion yang dalam keadaan pucat pasi.
          “udah deh Sa, loe sana dulu”, kata Dion yang bermaksud mengusir Atsa agar berada dalam radius jauh darinya dan Eca.
          “oke okee”, sambil melangkah mundur. 
          “ehhmm”, aku mulai membuka mulut ku pada Dion, setelah aku kira ini waktu yang tepat. “kamu tau, aku enggak mau maksain perasaan aku ke kamu, tersera lah kamu mau gimana nilai aku, dari kita pertama ketemu, aku udah yakin kalau sebenernya aku itu saying sama kamu, daan-“, kata-kata ku terputus lalu disambung Dion.
          “Eca mau enggak jadi cewenya Dion?, kalau enggak mau juga enggak pa-pa kok”, singkat Dion hamper pergi.
          “ehmm”, senyumku. “ia mauu”, sambungku disertai tawa.
          Rabu,17 February 2010 adalah waktu dimana Dion utaran cintanya untukku, ini yang aku tunggu, sebuah waktu yang menyatukan aku dan diaa. Hari dimana aku melepaskan benakku dan tersenyum manja disampingnya, di samping Dion. Dan mungkin Dion adalah orang yang sangat berbeda dari mantan-mantanku sebelumnya, Dion sederhana, ia selalu jadi dirinya di hadapanku, jadi dirnya yang polos, aneh, kocak dan nerveous jika ada di sampingku, jujur, aku selalu tersenyum sendiri membayangkan hal-hal itu. Aku hanya bias berharap, aku akan selalu di hati Dion. Mungkin ini semua tak kan tejadi tanpa Atsa, sahabat terbaik sepanjang masa yang pernah aku punya, aku bangga memiliki sahabat sebaiknya, aku lega jika ada di sampingnya. “Trimakasih teman”
            Kini di hidupku akan ada orang baru, ialah Dion penghias mimpiku, warnai hidupku, dia yang terindah, dia yang tak mengerti aku, tapi selalu berusaha mencari tau siapa aku sebenarnya, dan apa inginku untuknya. Inilah kisah cintaku.
           

The end J